Hello, I’m Yohanes Kusika
I am a seasonal blogger. I love to write about lessons I’ve had in my life as a child, husband, pastor, and father. So basically, it’s a journey of me to find answers in this world I am passing through. I hope you find a lesson or two in my writings. Blessings!



-
When God Doesn’t Answer Prayer

I am writing this while listening to the old (but eternal ha!) track from Don Moen, He never sleeps. the song says, “When you’ve prayed every prayer that you know how to pray. Just remember the Lord will hear and the answer is on its way.” And yes that was exactly how I felt, I believed that my prayer had been answered and the answer is on its way. I am a simple person when it’s about faith, I believe my God will answer, no but. Well, last year I and my wife lost our first daughter after 9 years of marriage. She died in the womb on the age of 5,5 months, I carried her small but perfect and reddish dead body, I can see she got her mom’s nose and chin and definitely my eyes. Her name is Lois Aimee Kusika, first of the Kusikas ever with a tombstone. She got a rare symptom of Hydrops Fetalis. We went to many doctors and looked for help anywhere we could but it didn’t help much. I met a lot of people saying the same thing about Lois, she will survive and she will be a miracle. Faith was up and down like crazy, I always thought I will teach Lois about faith, little did I knew she forced me to define the word faith in my spiritual life again and again and more. I got so strong every time I prayed, and so weak every time I got back from the doctor and saw the ultrasound and nothing was changed. she was still in the same condition week after week and my faith was going rollercoaster until the day we heard our doctor said, “when you felt her movement the last time ?” That’s when our hearts skipped a beat. My thought that day was how to react like King David when he lost his son, now it’s not a time to be sad but a time to rise again and move on. That’s what I did.
Why did I decide to accept and moved on? Because I knew God is there. Did I disappointed with God? No, I was disappointed and sad, but I don’t think it was with God. I think it was with myself, with circumstances and with the fact that I lost my baby. The second I heard the fact that she died, I was crushed, I just cried and couldn’t hold my tears no matter how I hard I hold it. Kayaknya ga pernah nangis kayak gitu selama saya hidup. Tapi apakah kecewa dengan Tuhan ? Nah detik yang sama saya mendengar kabar buruk itu saya tidak berteriak Hallelujah atau sejam kemudian … atau 3 hari sesudahnya pun tidak. BUT deep down in my heart, I didn’t blame God. Ada satu kepastian yang membuat saya tidak menyalahkan Tuhan, He love me so much, that He gave His only son. why should He take away mine? Saya cuma tahu bahwa dibalik semua ini Tuhan dimuliakan. Apakah saya dan istri kuat? saya rasa bukan kuat, saya rasa kata yang tepat adalah total surrender. Saya tahu kehidupan ini adalah dari Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan. Apabila Dia memberikan kami seorang anak, maka itu akan membawa kemulian bagi Tuhan. Berserah saya rasa tidak ada hubungannya dengan kuat, kami tidak kuat, sebab kami masih bersedih, but we’ve move on. Dalam hati kami, ada sebuah kesadaran bahwa Tuhan berkuasa dan berdaulat dalam kehidupan, tetapi kehilangan seseorang anak membuat kita memiliki sebuah kesimpulan ekstrem, Tuhan yang mengambil. Atau mungkin Tuhan membiarkan semua ini karena sebuah sebab yang belum bisa kita liat sebelumnya. Extreme thought but it saved us and has keep us sane. Saya Bisa menerima kenyataan kalo Tuhan yang mengambil, artinya ada rencanaNYA dibalik semua ini dan di dalam rencanaNYA pasti ada kemuliaanNYA. I can accept that, because for me that’s enough.
posted on Nov 22nd, 2019
-
I bless the rain down in Africa

Tiga tahun yang lalu saya pernah membuat sebuah status di facebook saya yang isinya : When David Livingstone, the missionary pioneer, was working in Africa, some friends wrote: “We would like to send other men to you. Have you found a good road into your area yet?”
Livingstone wrote back: “If you have men who will only come if they know there is a good road, I don’t want them. I want men who will come if there is no road at all.” — (In Reader’s Digest [8/89], p. 143)
Tidak pernah terpikirkan untuk kemudian saya betul-betul pergi ke Afrika. Bayangan saya tentang Afrika adalah padang gurun dan anak-anak kelaparan, jerapah dan singa di mana-mana. Ternyata Afrika yang saya kunjungi membuka mata saya tentang benua yang sangat indah dan haus akan kabar baik Kristus. Negara yang harus saya kunjungi adalah Uganda, terletak di tengah-tengah dari benua Afrika, berada persis di garis khatulistiwa dan beriklim tropis sama dengan Indonesia. Suhu udara di sana lebih dingin daripada Bandung, Ibukotanya bernama Kampala dan berada 1190m di atas permukaan laut (Bandung hanya 768m dpl) sehingga suhunya berkisar 17–23 °C . So I was in Africa and it was cooler than Bandung, more like Lembang. Selain suhu, makanan mereka juga cukup membuat terkejut karena mereka tidak makan nasi sebagai makanan pokok tetapi pisang muda yang dibuat seperti bubur padat bernama matoke. well, first of all i don’t like banana, but it said that the matoke is served if only they honor the guest who’s coming. so … i ate it, gladly.

outside than the food, the African is a different breed in praising God, they’ll sing really loud, they’ll be jumping like very free, they’ll be dancing like they own the place, and they’ll fall to their knee like no other people. Jika Anda ada bersama saya, Anda akan merasakan suasana yang luar biasa, bukan karena mereka melompat atau menari, tetapi juga karena Anda akan tahu bahwa HadiratNya nyata di tempat itu.



For those of you who doesnt know why i need to be in Uganda, adalah karena di Afrika, banyak sekali gereja IFGF, hasil dari pelatihan dan juga penginjilan dari Ps. Daniel Hanafi (IFGF Los Angeles) bertahun-tahun lalu. Gereja-gereja ini bertumbuh dan berkembang sampai akhirnya mereka perlu sistem discipleship seperti yang kita gunakan di Bandung dan di kota-kota besar di Jawa. Jadi perjalanan saya ke Uganda adalah untuk mengajar #igrowjalanterus dan #icarejalanterus di sana. Saya bersyukur karena apa yang dibangun oleh Ps. Daniel Hanafi di Afrika adalah gereja yang solid dan kuat dalam pengajaran dan pemahaman akan Firman Tuhan, sehingga yang perlu saya kerjakan hanya menyiram dan memberikan pupuk bagi pekerjaan Tuhan di sana. Apalagi gereja di sana sangat haus dalam belajar, dari mulai para asisten pastor umur 19 sampai para lead pastor yang senior. Saya pergi ke dua kota tempat jemaat kita berada yaitu di Kampala dan Fort Portal. Kampala sebagai ibukota dihadiri kurang lebih 65 peserta dalam conference / pastoral training ini, ada 28 gereja IFGF dari berbagai daerah di sekitar Kampala dan bahkan ada beberapa yang datang negara-negara sekitar Uganda, seperti Kenya dan Rwanda.



I love the church here in Kasangati so much, they are young and vibrant and willing to pay any price to grow in the Kingdom of God. I will certainly go back to Uganda and visit Kasangati again, I’m looking forward to what God has in store for them.



Conference kedua di Fort Portal, sebuah kota kecil di ujung barat Uganda berbatasan dengan Republik Congo, perjalanan yang seharusnya kurang lebih 7 jam dengan mobil, ditempuh hanya 4 jam hanya karena God’s favor. Selama perjalanan saya menikmati pemandangan dan jalan yang sudah sangat baik dan juga terawat dengan baik. Hutan yang masih sangat asri dan burung-burung yang masih tebang bebas dan bersuara dengan bebas. Perjalanan ke Fort Portal merubah banyak pendapat saya soal Afrika, this place is beautiful.


Setelah sampai di Fort Portal saya langsung memulai 2 days conference di sana bersama kurang lebih 60 peserta dari 25 gereja IFGF di daerah barat Uganda. Daerah barat Uganda cukup jauh dari ibukota sehingga demografinya lebih banyak orang-orang yang lebih tua, koordinator di sana bernama Ps. Francis Gamukama berumur 70 dan masih memimpin gerejanya dan mengawasi sekitar 25 gereja IFGF di daerah barat Uganda. Pesan Tuhan tentang regenerasi sangat kuat ketika saya mengajar disitu, sehingga ketika saya sampaikan, anak-anak muda disana sangat bersyukur karena akhirnya ada konfirmasi dari doa-doa mereka selama ini.



Dari Fort Portal saya kembali ke Kampala untuk Sunday Service di IFGF Kasangati. Seperti dugaan saya selama saya mengajar di sana, IFGF di Kampala akan memiliki Sunday Service yang all out in spite of tempat mereka yang tidak begitu baik dan sarana yang terbatas. Saya belajar banyak tentang bagaimana memuji dan menyembah bukanlah soal panggung yang bagus dan sarana yang baik tetapi soal hati. Their heart during the praise and worship is something i never seen in any other places, it’s just gold.
Perjalanan ke Afrika menjadi pelajaran tersendiri bagi saya, and i really hope this will not stop here, there’ll be another trip and another story to tell. Mukama Akuwe Omukisa means God bless you in Luganda, the language mainly spoken throughout Kampala. Living the dream. -Ps. Yo Kusika
posted on Sept 19th, 2019
-
WHAT SHOULD WE DO IN SMALL GROUP ?
Bedanya Share-Firman dan Share-Hidup

Dalam kelompok kecil atau small group banyak dari kita yang kemudian terjebak dalam pola ibadah. Praise and worship 20 menit, share Firman Tuhan 45 menit, dan berdoa 15 menit. Dengan kesaksian, ups and downs, ice breaker dan lain lainnya hanya menjadi sekedar selingan. Don’t get me wrong, there’s nothing wrong in doing all the liturgy of a service in your small groups, it just you have another service now but small. Depends on what you’re aiming with small groups, if your aim is another service then keep doing it, you’re on the right track. But if your aim is not another service, then keep reading, this blog is for you. People come to small group because they need community. Banyak small group leader mengejar hal yang kurang tepat, mereka merasa bahwa small group itu tentang khotbah yang baik, yang berisi dengan pelajaran Firman Tuhan yang mendalam, perfect hermeneutics and homiletics. Hal ini juga boleh jadi benar jika yang kita kejar adalah bible study. From my point of view, small groups existing karena orang-orang memerlukan sebuah kepastian bahwa Firman yang mereka dengar di hari Minggu itu BISA diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka perlu memastikan bahwa ada banyak orang lain juga yang mengalami pergumulan yang sama ataupun mirip dengan mereka, just to make sure that they are sane enough. Dalam small group, tujuan inilah yang harus dicapai. Bagaimana kita membuat sebuah atmosphere dimana semua orang kebagian bicara dan membagikan kehidupan mereka. Membagikan kehidupan mereka, bukan kesaksian tentang apa yang mereka berhasil lakukan saja, tetapi tentang kesalahan, kegagalan, pergumulan, hal-hal yang mereka tidak mengerti, setengah mengerti, beban kehidupan mereka, dll. It’s about sharing life, about doing life together. lewat membagikan kehidupan kita, ada banyak orang lain yang mendengar akan relate dengan kehidupannya.
Apa perbedaannya dengan membagikan Firman Tuhan dalam small group ? well perbedaan yang paling terasa adalah yang satu teori dan satunya lagi praktek. Dalam menerima Firman Tuhan kita menyadari bahwa Firman itu tidak bisa didebat, tidak bisa dilawan, tidak bisa ditawar dan seringkali susah untuk dilakukan. Sehingga Firman itu sebaik apapun dalam penyampaiannya sering hanya menjadi head knowledge saja. ini bukan masalah baru, Yakobus saudara Tuhan Yesus dalam suratnya mengajarkan, “but don’t just listen to God’s word. You must do what it says. Otherwise, you are only fooling yourselves”. since new testament time, there’s a lot of Christians living their lives, just as a listener. They’ve listened and they understood the Word, but they were failed in the doing part. like most of us today, kita ngerti Firman Tuhan, tapi waktu menjalankannya adalah lain cerita. itu sebabnya dalam mempraktekan Firman itu kita membutuhkan komunitas. komunitas yang dapat bersama-sama belajar untuk melakukan Firman baik ataupun tidak waktunya, sulit ataupun mudah, di mana saja dan kapan saja. komunitas yang bisa memberikan rasa aman saat kita bercerita tentang melakukan Firman itu tetapi masih belum berhasil. komunitas yang meng-encourage untuk terus mencoba karena mereka juga melakukan hal yang sama. ini perbedaan yang paling kentara dari Sharing-Firman dan Sharing-Hidup. Ini adalah tempat dimana Firman itu menjadi hidup, karena dihidupi oleh mereka-mereka yang berusaha menjalankannya tanpa ada tuduhan, pandangan sinis dan jari-jari yang menunjuk. Firman yang mendarat menjadi kehidupan.
posted May 23rd, 2019
-
Why Small Group need to multiply?

“Kenapa sih komsel harus pisah/multiplikasi?” “Baru ajah nyambung, sekarang masa harus starting over?” ”kalo keluarga kok berpisah?” dan lain-lain dan lain-lain.
Saya ketemu banyak banget tipe orang yang bereaksi ketika diminta multiplikasi. Bottom line is people hate it when we tell them to go out from their comfort zone. Terkesan kayak demanding banget yah, gereja kan keluarga … kok maksa-maksa ? Well, this is my point of view … #1 Great commision atau amanat agung yang isinya secara singkat adalah go everywhere, make disciples, baptize and teach them. Alasan pertama adalah small group dibuat untuk mengenapi amanat agung. Amanat agung tidak memberikan satu tanda pun untuk sebuah small group untuk diam dan nyaman dengan jumlah yang sama dan berlama-lama. #2 Multiplikasi harus terjadi karena itu adalah tujuan dari small group. Jawaban paling utama adalah untuk bertumbuh (bukan gereja yang bertumbuh, tapi setiap organisme yg melakukan multiplikasi itu yg bertumbuh), pertumbuhan itu sendiri akan selalu terjadi apabila kita melayani orang lain dan berinteraksi dgn orang lain. #3 every healthy organism will grow and regenerate. Selama komunitas itu sehat, pertumbuhan adalah sebuah akibat tanpa dibuat-buat dan disengaja, it will happen organically.
I totally understood kalo small group dimana teman-teman atau keluarga rohani kita ada adalah tempat yang baik untuk bertumbuh. semakin banyak orang yang terlibat adalah semakin baik … yes I got it. Problems starts when your goup at the size of 20 people … gimana sharing nya ? brapa lama tiap orang akan kebagian bicara ? dan apakah orang mau share their personal life dengan size segitu ? Bagaimana dengan orang baru yang masuk ? akan sangat sulit untuk memecahkan es jika kita punya terlalu banyak orang. small group adalah tempat dimana kita bisa doing life together, semakin besar group itu semakin sedikit hidup yang akan dibagi. semakin besar group itu semakin sedikit orang bisa masuk dan menyesuaikan, akhirnya potensi yang ada di dalam tidak tergali, dan potensi untuk mengembalakan orang di luar juga tidak tercapai. it’s good to have small group, but it’s better to have it as small as twelve people or ten couples. Lebih dari itu group akan sangat kesulitan untuk memberikan kesempatan untuk orang bertumbuh. multiplikasi adalah sebuah efek pertumbuhan, multiplikasi seharusnya dirayakan. As a church let’s be big enough to impact but small enough to care.
posted on Feb 14th, 2019

About Me
Firstborn of the clan Kusika, husband to a beautiful Rika and Father to a gorgeous Aimee. We are initially from Bandung and served at the homiest place called The House, IFGF BANDUNG. Today, we are pastoring the most fun people on the entire island of Singapore, IFGF SINGAPORE and the most fun people on the entire island of Bali, IFGF KUTA BALI.

