Finding Answers: Insights from My Life

Finding Answers: Insights from My Life

Hello, I’m Yohanes Kusika

I am a seasonal blogger. I love to write about lessons I’ve had in my life as a child, husband, pastor, and father. So basically, it’s a journey of me to find answers in this world I am passing through. I hope you find a lesson or two in my writings. Blessings!

  • Neue Ära : Das Paradies

    So, hari ini kurang lebih sudah empat bulan sejak musim yang baru itu dimulai, tinggal di Bali, tempat yang menjadi tujuan banyak orang dan menjadi mimpi banyak orang. Are we happy? Of course, but the thing is, we are and will be happy no matter where and how. Many have asked us how life has been for us. Are we settling down okay or not? Well, we always answer that we are good, no complaints. Not because the place is good, or the ministry is good, but because our God is good. We say we are good because we choose to be good despite the circumstances, and we actually try our best to be the thermostat of the circumstances, setting the tone of the place we are plugged into.

    Betah atau nggak betah, aku rasa bukan masalah tempatnya. Kalau ditanya soal betah dan keinginan, ya, tentu saja kita ingin pulang ke Bandung, dan pasti akan betah di sana. Tapi hidup kan nggak selalu soal kenyamanan atau memuaskan keinginan kita sendiri, melainkan soal memenuhi tujuan hidup kita. Ada beberapa alasan kenapa kita akhirnya memilih pindah ke Bali. Pertama, karena tujuan yang Tuhan berikan kepada kita untuk IFGF SG sudah selesai atau sudah tercapai. Kita pergi waktu itu karena kita mendapatkan visi untuk menggemburkan tanah yang keras, dan per hari ini, IFGF SG adalah tanah gembur yang sangat siap ditanami benih-benih unggul. Like it used to, and it will always be a training ground and a family far away on the tiny island. Kedua, karena Rika dan Aimee selama di Singapore harus bolak-balik karena visa mereka bukan visa untuk tinggal lama. So, pilihan terbaik memang balik ke Indo sebelum Aimee masuk primary. Ketiga, karena kita pergi ke Bali dan mulai melihat serta meresapi apa yang Tuhan mau berikan jika kita memilih pindah ke sini. Nah, trip ini yang membuat saya dan istri mengambil keputusan untuk meninggalkan ladang yang sedang kita kerjakan dan cintai sepenuh hati. Although the work is actually done, the soil is fertile now, but we have also rooted there, and we love the church and the people so much. After the trip, we found that the church in Bali needs our talents more than Singapore. We (sadly) felt that we could not be selfish and just close our hearts to the need we saw in Bali.

    So, are we settled down and comfortable in Bali? Yeah, no complaints. So, are we happy living on this paradise island? Well, we’re happy living anywhere, actually. For us, it’s not about the place—whether it’s Bali, Singapore, or Bandung. It’s about the people. People are our mission. Dan juga bukan karena people di Singapore kurang penting di hati kita, justru sebenarnya hati kami cuma terisi mereka sampai saat ini. In the end, our journey wasn’t about finding the perfect place to settle or searching for comfort in a specific location. We’ve learned that it’s not the island, the city, or the environment that defines where we should be. It’s the people and the needs we see around us. Bali wasn’t just a move for a change of scenery—it was a calling we couldn’t ignore. We saw a need, a community that could benefit from what we have to offer, and that was enough to make the decision. Comfort and contentment are fleeting if they are based on the place alone, but when they’re rooted in purpose and service to others, they become deeply fulfilling. It’s never been about how easy or comfortable life is for us; it’s about being where we are most needed. And right now, that place is here in Bali.


  • Cerita Tukang Nasi Goreng part 2

    Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan ini https://ykusika.com/2023/03/11/cerita-tukang-nasi-goreng/ jadi mending baca dulu tulisan sebelumnya supaya dapet konteksnya. Dicerita sebelumnya saya melihat bahwa ternyata tukang nasi goreng itu dibutuhkan berapapun jumlahnya dan hanya bisa diproduksi atau direplikasi lewat close mentorship dan tidak ada cara lain.

    Nah baru-baru ini rame tukang nasi goreng yang menyalahi hukum di dunia pernasi-gorengan. Dia tiba-tiba bilang kalo nasi goreng itu bisa dibuat dari bubur dan mengklaim rasanya lebih enak dari nasi goreng konvensional. Tukang nasi goreng ini juga merasa bahwa produk dia adalah dari masa depan dan bahkan pernah membuat resto nasi goreng dengan tagline : resto paling sehat seindonesia tapi bangkrut ga jelas. Sebenernya ini semua ga akan jadi masalah kalo ajah dia bilang dari awal kalo dia jualan bubur goreng. That’s it! Dengan jantan dan berani bisa mengakui kalo dia emang beda dan penemu sebuah sekte baru yaitu bubur digoreng. Tapi dia lebih memilih tetap berada di jalur nasi goreng dan membuat persatuan tukang nasgor di mana-mana seantero Indonesia jadi heboh.

    Well, let me explain how this works : gelar Tukang Nasi Goreng itu hanya bisa dimiliki (secara normal sesuai adat dan adab) dengan cara ditunjuk dan ditunjuk didepan para langganan dan kemudian didoakan didepan langganan-langganan oleh kepala asosiasi tukang nasi goreng tempat tukang itu bernaung. Jadi gelar itu tidak bisa didapatkan hanya karena seseorang tiba-tiba punya ruko buat resto atau punya gerobak atau lulusan sekolah masak. Lulus sekolah masak artinya orang itu pernah belajar masak, tapi sama sekali ga jamin orang itu bisa masak enak dan bergisi. Nah karena sekarang udah hampir semua asosiasi tukang nasgor bereaksi terhadap si pencipta sekte sesat bubur goreng itu dari sisi cara memasak, dari sisi kemurnian bahan, dari sisi kesesatan bumbu dan rempah. Jadi saya ga akan nulis tentang dia dan tentang kesesatannya.

    Tulisan ini adalah tentang betapa NASI GORENG yang simpel tapi disukai banyak kalangan itu adalah makanan yang rentan untuk dimasukin bumbu-bumbu asing dan rempah-rempah asing yang kemudian akan mengubah esensi nasi goreng itu sendiri. Cara masak bisa berganti, cara jualan dan cara berdoa saat masak bisa beda-beda tapiiiiiiiii Tukang Nasi Goreng itu harus di cek dan ricek dan ricek dan ricek lagi. Tukang nasi goreng kalo udah terkenal suka belagu dan berasa jadi Tuhan padahal cuma tukang. Tukang nasi goreng kalo udah ga jelas dan serba rahasia serba ekstrim dan ga bisa jaga tutur kata lebih baik kita berhenti langganan dan cari tukang nasi yang jelas asosiasi pedagangnya, Jelas pemahaman tentang nasi dan bumbunya, jelas pertanggung jawabannya. Kita hanya ingin makan nasi goreng yang enak dan sehat itu ajah. Ga muluk-muluk kan, karena saya percaya semua tukang nasi itu baik, tapi ga semua cocok sama selera makan kita. Jangan karena tukang X dari asosiasi XBX atau tukang XY dari asosiasi XYZZ maka pasti aman. Tidak ada yang aman. Semua membutuhkan filter nalar (atau wisdom atau hikmat) dan “BUKU RESEP” supaya segala sesuatunya sesuai dgn rancangan Sang Pencipta nasi goreng.

    Saya sendiri sebagai seorang tukang nasi goreng yang ada di asosiasi nasi goreng yang cukup baik dan saya ditunjuk menjadi penyuluh dari tukang tukang nasgor se Asia tenggara dan Timur Tengah dan Kepulauan Riau. Saya merasa kalo emang pelanggan itu banyak tapi sedikit tukang nasgor yang baik dan bener dan enak. Kalo emang mau jadi Tukang yang baik yah, masih banyak resto-resto yang kosong ga ada yang masak, masih banyak gerobak-gerobak yang terbengkalai. Ga usah rame di podcast atau di sosmed, pergi ajah ke pulau di ujung Kepri sana, banyak yg cari nasi goreng. Tukang nasgor kok rame di podcast sama sosmed, euweuh gawe! Kalo emang bener tukang pasti tahu kalo kerjaan itu banyak ga sempet bikin konten aneh-aneh memperdebatkan nasi sama bubur. Yah balik ke basic ajah, biar tukang nasgor itu dinilai dari nasgor nya bukan dari tattoo nya. ✌️

    Semoga persoalan nasi goreng ini bisa dipahami dan dicermati bersama, stop following apalagi beli tukang bubur goreng sesat dan stop talking about him. Stop making stupid people famous. Inget ini soal bubur goreng bukan soal jelema goreng. Salam bubur diaduk!


  • MALU BERTANYA SESAT DI MASA DEPAN

    I still remember the first time I encountered the internet in 1995, nearly 30 years ago. I was introduced to a search engine called Yahoo, and two years later, when I was in the computer lab during my first year as a university student, I created my first email address there. Surprisingly, I still have it to this day. Time flies; those moments I can still remember very clearly. Sitting in front of the computer, facing a Yahoo search engine, I wondered what to search for. Nearly 30 years ago, at seventeen, I started typing everything I wanted to know about the world out there. My queries ranged from simple to complex things, from looking at pictures of places to reading encyclopedias to find interesting facts. I searched for pictures of girls (what can I say, I was a young and foolish boy) to forums and email listings on topics I wanted to learn about.

    Yahoo in 1995

    Well, back then the internet was not as comprehensive and fast as it is today, and the search engines were not as powerful as Google is now. It was a time when, if you didn’t know exactly what you were looking for, you’d never find it. The super limited information and technology forced me to think hard about how to ask the right questions every time I logged onto the internet. Whether that was in forums, in email listings, or elsewhere – during those days, we couldn’t just ask a search engine; the technology wasn’t there yet. You had to find places where you could interact with other people who had the information or knowledge you were seeking. There was no Wikipedia yet, so the information was out there, but you needed to find the right sources, because there were so many ‘wrong sources’ along the way. So, the only thing I knew about ‘surfing’ (yes, the term was ‘surfing the net’ back then) on the internet was how to ask the right question.

    Nah, bertanya adalah sebuah seni dan ilmu. Kalo menurut saya, mampu bertanya adalah sebuah modal yang sangat mahal harganya. Let alone bertanya yang baik dan pintar, berani nanya ajah udah sebuah modal besar bagi seorang anak Indonesia kayak saya yang tumbuh dengan sistem pendidikan aseli Indo dan guru-guru dan presure dari teman yang ujung-ujungnya biasanya kalo mau nanya tuh malu. Bertanya artinya bego atau bertanya artinya ga punya teman. Akhirnya banyak dari kita yang ga biasa (bukan ga bisa) bertanya dan kehilangan banyak sekali kesempatan untuk berkembang secara ilmu dan pengalaman. Cuma gara-gara masalah malu bertanya. Masih mending kalo malu bertanya itu kemudian rajin membaca, rajin bergaul dan rajin traveling,

    Bayangkan sebuah acara talkshow, semua acara talkshow itu modal utamanya adalah kemampuan si pembawa acaranya untuk bertanya. Contoh ajah, think about any viral podcast, yang membuat podcast itu menarik adalah karena kemampuan untuk bertanya, mendalami dan menguak sebuah informasi dari pengalaman lawan bicaranya. Skill ini tidak bisa datang otomatis dan tanpa latihan, yang membuat kita semakin mahir dalam bertanya adalah apabila kita pernah memulainya.

    Let’s put it this way: Why don’t we give calculators to our children? It’s because they haven’t been trained in addition, subtraction, multiplication, and division, and they haven’t mastered these concepts. Once they master them, calculators will help rather than spoil them, preventing laziness. Similarly, in life, why do I think we need to ask questions? It’s because asking questions is a basic concept before we start using money, networks, the internet, and basically anything else in life. Now imagine how a simple thing like asking a question can be an essential skill, yet it is often disregarded due to its simplicity.

    Ok sekarang soal A.I. Artificial Intelligence. Sebagian orang khawatir, sebagian orang senang, sebagian orang bingung, dan sebagian lainnya tidak peduli dengan apa yang terjadi. Well, menurut saya A.I. akan menjadi kebutuhan sehari-hari seperti halnya Google hari ini. Perlu dicermati buat yang merasa ‘saya tidak pakai Google dan tidak pernah sengaja buka Google search engine untuk cari sesuatu’. Yah… well, jika hape kamu adalah Android, pasti kamu perlu mendaftarkan email Gmail. Semua aktivitas dan perilaku yang dilakukan lewat hape itu terekam dan terdata. Jadi, tidak harus melakukan pencarian di search engine-nya secara langsung. Intinya adalah kita tidak bisa hidup tanpa Google di jaman ini. (Bisa sih, tapi most people tidak bisa) Dua tahun lalu saya ingat dunia dihebohkan dengan kedatangan chatgpt, sebuah chat generator powered by artificial intelligence dan berguna untuk membuat kalimat yang baik dan benar serta ‘indah’ hanya dengan memasukkan perintah yang pendek. Jadi seperti punya ghost writer pribadi yang bisa mengarang indah dengan perintah-perintah yang tidak indah. Hari ini chatgpt bukan saja mampu melakukan itu tapi bisa membuat berbagai macam hal lain. By the time I write this, chatgpt memiliki 180.5 juta users. Dan A.I. bukan hanya chatgpt saja, di luar sana ada ratusan tools powered by A.I., all designed to make our lives easier and faster.

    Ok sampai sini, bisa kita lihat trend yang akan terjadi. If you don’t teach your children how to ask questions, they will never master the art of asking the right questions. Dan jika mereka bertumbuh dalam era A.I. ini, mereka akan tumbuh dengan jawaban-jawaban yang mudah dan dimanjakan oleh teknologi. Sebenarnya, ini memiliki sisi baik, tetapi seperti yang saya tulis tadi, jika anak kecil belum siap menggunakan kalkulator tetapi diberi kalkulator, seumur hidupnya dia akan bergantung pada kalkulator dan tidak akan menggunakan otaknya untuk berhitung. Bukankah kita juga sudah membuat ‘produk’ semacam itu? Kita mendidik generasi yang tidak bisa mencuci baju, mencuci piring, menyetrika, mengganti ban serep, mengganti lampu kamar yang mati, mengisi air radiator sendiri, dan banyak lagi ketidakmampuan lainnya. Semua harus serba pembantu atau pegawai, kan? Apakah saya anti A.I.? Oh, tentu saja tidak, saya sudah menggunakan chatgpt sejak pertama kali dia muncul. Sampai hari ini, saya masih menggunakan versi berbayar. Untuk membuat khotbah? Yes, untuk semua hal, tidak hanya membuat khotbah. Tapi tentu saja bukan dengan perintah seperti: ‘create me a 4 points sermon with a gratitude theme.’ Bisa saja menggunakan perintah itu, tapi akan terlihat sangat tidak bijaksana, tidak bisa bertanya dengan benar. Chatgpt membuat saya mampu mencari banyak hal dengan cepat dan secara komprehensif. (lebih dan lebih komprehensif saat ini) Jadi, apakah kemudian saya akan bergantung pada chatgpt? Tentu tidak karena saya memperlakukannya sebagai alat, bukan sumber. It’s not the source of my information, it’s the tool I use to gather information. Since I know the source, which is the Bible, I can notice if there’s any mistake in the information provided by A.I. See? We need to master the basics, master the old way, and equip ourselves with the upgrade.

    Jadi kemampuan kita bertanya bisa membuat banyak perbedaan di hasil akhirnya. So what kind of generation do you want to rise? The one who can live with all the technology or the one who cannot live without? Think about that!


  • Fireworks

    1 Januari 2024, dua tahun genap sudah tinggal di Singapura, menggembara dan menggembalakan IFGF SG. Banyak yang tanya, “gimana hidup di sana ? apa semua ok?” dan selalu saya jawab, “no complaints”. Kenapa juga harus komplen karena waktu ditugaskan di sini kan juga udah didoakan, dipikirkan, ditimbang, dijemur, dibalik dan ditiriskan. Dua tahun bukan waktu yang lama tapi juga tidak sebentar, dalam dua tahun ini ada banyak momen penting terjadi di keluarga besar kami tanpa kehadiran kami. Sebaliknya juga banyak hal terjadi dengan kami yang keluarga besar juga ga tahu secara detail, karena kalo berkunjung ke Bandung tentunya ga bisa ceritain semua hal dengan detail. Sampai titik ini, yah tetep no complaints. Tahun baru ini ada banyak sekali yang dipikirkan dan direnungkan.

    In pursuit of a change, at the end of this year, Rika and I decided to watch the New Year’s fireworks in Macpherson because it’s the closest location to our home. So, the story goes like this: in Singapore, just before the New Year’s countdown, they have designated areas for fireworks displays. You can’t just set off fireworks or firecrackers anywhere; only in the authorized locations, and only the approved organizers are allowed to do so. Therefore, we waited and parked at the designated location after checking out the atmosphere there beforehand. We decided to “hack” our way to watch the fireworks from a different spot because we didn’t want to be stuck in a super crowded area where we might not be able to leave once it’s over. So, we parked in a nearby field to still get a good view but in a safer condition.

    Feeling a bit too clever for our own good, we waited until midnight and ended up falling asleep because it was a Sunday, and we were already quite exhausted. But we did it for the sake of a change from the monotonous routine of just watching fireworks from home. When the clock struck 12, we could hear the sound of the fireworks, but we couldn’t see them from our parking spot… jeng..jeng… Without wasting any time, we hit the gas and raced towards the fireworks, eventually stopping on the side of the road to watch them until the end, and… it was disappointing, haha. Our expectations were for a grand and lengthy fireworks show, but since the main fireworks event was happening at Marina area (Merlion and the river in front of it), the fireworks in Macpherson were not as extravagant and were rather ordinary.

    So, we headed home and waited until 1 o’clock to wish our friends and family in Indonesia a happy New Year while watching the TV to see what had happened at Marina, and it was indeed spectacular. The fireworks were much better and longer there, meeting our expectations for a fireworks event.

    Di tengah-tengah itu semua saya merenungkan semua ini saya jadi mulai mengerti sedikit-sedikit fragmen dari Tuhan yang Dia kasih. Berkat itu butuh pengorbanan, mirip sama nonton kembang api, ada harga yang harus dibayar. Makin nyaman posisi kita, makin jauh dari kembang apinya. Sebaliknya makin tidak nyaman posisi kita, maka kembang api nya akan semakin jelas dan semakin dekat. Apabila saya pilih tempat jauh yang “gampang buat saya”, maka saya harus “mengorbankan” beberapa hal yang justru penting dan merupakan tujuan dari perjalanan itu sendiri. Think about it. I drove all the way to the fireworks place and waited 2 hours, and I couldn’t even pay the small price of joining the crowd and waiting for the fireworks to start.

    Most of the time in our lives, we end up spending our lives doing things that we don’t like and don’t want, never really trying to do what we want. No matter how young or old you are, if you are reading this, think about your life and ask yourself, do you really want to miss the fireworks? God is giving you a masterpiece design; are you sure you want to skip that and just do whatever you think is easiest for you?

    I went to Macpherson to watch the smaller version of the fireworks. Do you know what happened at Marina? It was far bigger and more extravagant than the one I saw. But even the hassle in Macpherson was enough for me to reject and not want to experience, let alone the crowd and complications at Marina. However, to be fair… I don’t know, I didn’t go to Marina. That’s exactly what happens in our lives too; we draw conclusions from a tiny piece of data that isn’t representative and refuse to do great things just because we’re afraid of all the complications and unverified stories.

    For the sake of convenience, I often end up choosing to make assumptions, and in the end, not doing what should be done. However, the effort to go to Macpherson is not much different from going to Marina. Sometimes, we do tend to opt for the easier path rather than the challenging one. Last year, there were many thoughts about our life here in Singapore, especially amidst the soaring prices. How long should we stay here, or might we stay here forever? Well, if we look at it from the perspective of the fireworks display earlier, we can only make a decision after we have gone through all the complexities, and only then can we fairly weigh and assess.

    Now, at the turn of the year into 2024, after a full two years in this ‘little red dot,’ I am beginning to think that it may be time to revisit our initial vision, why we were here in the first place, and why we wanted to do it in the first place. Revisiting the vision is a healthy way to evaluate our course in life, and we need that as much as making a plan ahead. Mark this down: evaluation is as important as planning ahead. Evaluation will show us what needs to change and what needs improvement. Nah kita seringkali tidak pernah melakukan evaluasi dan terus melakukan perencanaan tanpa memperbaiki apa yang kurang tepat. Ini yang menyebabkan kita muter-muter di tempat yang sama dan ketemu dengan masalah yang itu lagi itu lagi. Mumpung tahun baru, saya mau coba buat berubah dan mulai kebiasaan-kebiasaan baru. Ga gampang, dan pasti banyak yang keteteran, tapi kalo ga mulai sekarang, kapan lagi ? dan kalo ga pernah evaluasi kapan lagi?. Hidup itu harusnya banyak bersyukur bukan banyak menyesali, “ah harusnya dulu saya ambil saja tawaran itu” atau “ah harusnya dulu saya berani bertindak”. I want to live boldly and go where people have never been before. (PYK Jan 2024)


  • Cerita Tukang Nasi Goreng

    Nasi goreng itu salah satu makanan yang sangat digemari oleh banyak orang baik di Indonesia maupun di seluruh Asia. Nasi goreng bahkan sampe membekas dan dilagukan dgn judul Geef Mij Maar Nasi Goreng oleh Wieteke van Dort alias Tante Lien, orang Belanda yang kangen dengan makanan satu ini. Intinya adalah nasi goreng tidak bisa dijauhkan dari kehidupan orang. Ada pewahyuan lucu yang saya dapatkan sehubungan nasi goreng dan gereja. ada pepatah yang berkata, “everything rises and fall on leadership”, dalam hal nasi goreng mungkin bisa diterjemahkan bebas menjadi “enak tidak enak tergantung yang masak”, dan dalam dunia persilatan gereja bisa diterjemahkan bebas menjadi “maju tidak maju tergantung gembalanya”. Yah sama dengan nasi goreng, yang merupakan produk yang lahir dari tangan dan pemikiran yang masak, gereja sebagai sebuah organisasi (diakui atau tidak) juga merupakan produk dari tangan dan pemikiran yang menggembalakan. Gembalanya suka lagu rock, maka pilihan lagu boleh bernuansa rock. Gembalanya tidak suka keconcong, maka tidak boleh nyanyi lagu irama keroncong. Gembalanya suka belajar, maka pengajaran akan sangat kritis dan dalam, Gembalanya suka nyanyi, maka pelayanan panggung akan sangat berperan penting. tidak ada yang salah dan semua benar. tulisan ini hanya menantang pola pikir yang membaca untuk melihat betapa fragile nya kepemimpinan dan organisasi dalam kaitan pertumbuhan dan perkembangan usaha nasi goreng eh gereja. Usahakan untuk membaca sampai selesai sebelum membuat sebuah kesimpulan apalagi asumsi.

    Nasi goreng ada yang harganya murah dan jualan di gerobak jelek, kotor, lokasinya dekat kuburan, dekat tempat pembuangan sampah tapi yang datang makan adalah mereka yang datang dengan mobil-mobil besar keluaran terbaru. Aneh yah, kalo enak, bentuknya bagaimanapun akan dikejar dan rela antri-antri bahkan rela makan di lokasi panas-panasan. Diujung satunya ada tempat yag nyaman, sejuk, wangi dan nyaman untuk makan tapi rasanya biasa dan harganya seringkali sudah sangat mahal dan yang beli tidak banyak. Lebih aneh lagi adalah karena yang jualannya sepi ditempat yang baik ini justru jebolan sekolah masak yang bonafide, sementara yang jualan dipojokan kuburan itu justru ga pernah makan bangku sekolahan sama sekali tapi rasa ga pernah bohong. Saya tidak sedang memojokkan institusi pendidikan ataupun membela mereka yang tidak bersekolah formal, ini bukan tentang itu, ini tentang seorang tukang masak nasi goreng yang MAMPU meramu bumbu dan memberikan NILAI TAMBAH baik dari cita rasa ataupun bahan yang kemudian sanggup memenuhi kebutuhan dan menjawab masalah lapar dari banyak orang. Terlepas dari tukang nasi goreng itu lulusan mana. Dalam dunia korporasi, tukang masak yang baik bisa dikategorikan sebagai the right man in the right place with the right knowledge adding values to the corporation.

    Nah barusan masih intro, saya menemukan beberapa masalah dari tukang nasi goreng. Pertama, masalah star-syndrome, tukang nasi goreng yang dalam waktu singkat terkenal dan mulai belagu, mulai menikmati semua benefit dari keterkenalan dia dan mulai jarang masak. Jenis ini akan buka cabang dimana-mana, membagikan resepnya kemana-mana, bikin seminar cara masak nasi goreng, bikin buku resep dan mungkin punya acara tv segala dan pada akhirnya mulai tidak hands-on dengan bisnis nya dan membiarkan para tukang masaknya melakukan apa yang mereka rasa baik. Biasanya tukang nasi goreng tipe begini akan sangat cepat naik ke atas tapi sangat cepat juga jatuh ke bawah dan susah bangkit lagi karena karismanya besar tapi karakternya tak menunjang. Tukang ini kurang menyadari bahwa menjadi tukang yang terkenal membutuhkan continues improvement.

    Masalah kedua, regenerasi, tukang nasi goreng jenis ini biasanya kurang bisa melihat masa depan dan melakukan planning dengan baik. Mereka-mereka ini gagal mendidik atau terlalu pelit membagi ilmu untuk para penerus tukang nasi goreng yang mumpuni sehingga bisnis nasi goreng mereka tidak berkelanjutan. Jenis ini mungkin akan sangat sukses, kaya raya, tapi semua itu akan berhenti ketika sang tukang sudah tak sanggup lagi mengangkat kuali. Banyak sekali jenis ini dimana-mana, kalo diajak bicara alesannya beragam: takut dikhianati, takut nanti setelah diajari malah jadi saingan, takut setelah diajari malah merebut pelangan atau buka di seberang jalan. Pada intinya jenis ini adalah tukang nasi yang penakut.

    Masalah ketiga, cepat puas, ini jenis paling banyak sepertinya. Saya sering ketemu tukang nasi goreng yang sebulan jualan lalu libur sebulan karena pulang kampung dan berfoya-foya atau mungkin juga kawin lagi. Jenis ini adalah tukang nasi goreng yang merasa bahwa apa yang terjadi sekarang sudah baik dan tidak perlu dikembangkan lagi. ini semua sudah cukup. Jenis ini masuk ke jenis manusia malas, cepat berpuas diri dan tidak suka keluar dari zona nyaman, padahal Tuhan memanggil kita semua keluar dari zona nyaman. Eh balik ke nasi goreng, bukan lagi ngomongin pemimpin malas. Mungkin bukan malas saja tapi juga sombong, merasa sudah tahu semua dan menolak untuk belajar dan tahu lebih. Tukang jenis ini kalo ketemu tukang nasi goreng lain tidak akan pernah mencoba nasi goreng bikinan orang lain atau benchmarking, enggan memperkaya ilmu dengan datang ke konferensi nasi goreng dunia, enggan membaca buku resep, apalagi biografi tukang nasi goreng yang sudah sukses mendunia. Jenis ini adalah tukang yang sangat puas dapat pendapatan kecil yang penting bersyukur.

    Masalah keempat, kurang kreatif, tukang nasi goreng jenis ini biasanya bagian dari sebuah franchise nasi goreng terkenal, membawa brand besar sehingga semua bumbu dan bahan dan mutu “diatur” oleh brand itu dan digodok di central kitchen. tukang nasi goreng tipe begini jarang yang punya skill memasak melebihi tukang masak pendirinya (brand-nya). karena berkewajiban untuk hanya “memanaskan” nasi goreng dan tidak pernah berlatih untuk memasak dengan kemampuannya sendiri maka seberapa tahun pun dia menjadi tukang nasi goreng, dia hanya akan menjadi tukang nasi groreng yang biasa-biasa saja dan tidak kreatif. Menjadi bagian franchise bernama besar tentunya bukan hal buruk kan, tapi kalo dilakukan tanpa menambahkan nilai apapun dalam pelaksanaannya maka rasa nasi goreng hanya akan menjadi biasa-biasa saja dan jarang yang kemudian menjadi tukang nasi goreng sukses dan berhasil.

    Masalah kelima, takut perubahan, jenis tukang ini adalah tukang nasi goreng yang takut ganti suplier telor karena takut ada perubahan rasa, takur ganti suplier bawang karena takut rasa berubah, takut ganti merk beras karena nanti nasinya berbeda. Saking takutnya berubah lama-lama jadi takut pindah lokasi padahal lokasi lama udah ga muat nampung langganan, takut rekrut tukang potong nanti bisa curi ilmu, takut segala macem sampe akhirnya ditinggalin langganan karena tidak ngikutin jaman. Ga mau pake aplikasi online, ga mau cape-cape urus pembayaran online, cuma mau terima uang tunai dan masih harus lari2 cari kembalian kalo yang bayar duitnya kegedean. Jenis ini cocoknya dimuseumkan, karena bahkan tukang nasi goreng harus up to date, karena mungkin ajah sekarang nasi goreng udah ada rasa keju, rasa strawberry, atau pisang coklat. yah who knows… selera orang kan suka aneh.

    Masalah keenam, bantet, jenis ini sudah berusaha bikin nasi goreng yang enak dan disukai tapi tetap hasilnya biasa-biasa saja. mungkin saja emang ga bakat jadi tukang nasi goreng, mungkin harus coba jadi pengusaha atau mulai start-up atau mungkin bahkan banting setir jadi tukang kueh. Ga semua orang harus jadi tukang nasi goreng kan ? jadi kalo ternyata panggilannya bukan tukang nasi goreng yah jangan maksa. Mungkin ajah cocoknya jadi apoteker, tukang gali minyak, atau direktur bank.

    Masalah yang lain masih banyak, nanti saya tambahin kalo kepikir lagi. Intinya adalah masalahnya banyak dan tidak sesimpel itu jadi tukang nasi goreng. Tiap tukang akan punya caranya sendiri-sendiri, ada yang masak bawang duluan, ada yang telor duluan, biasanya sih ga ada yang nasi duluan. Tapi kalaupun ada yang nasi duluan yah itu gayanya dia dan mungkin aja ternyata hasil akhirnya enak dan laku yah bukan bearti semua harus ikutin karena semua orang akan punya caranya sendiri2 dan warna sendiri2. At the end of the day, tree will be judge by their fruits. Dalam dunia pernasigorengan tidak ada one size fits all, tiap tukang ada kebisaannya masing-masing, tiap tukang ada genre nya msing-masing, tiap tukang ga bisa dicetak pake cetakan yang sama. Ada tukang nasi goreng yang lebih laku di desa, ada yang lebih laku di kota besar, yang di desa ga bisa ke kota, yang di kota juga pasti ga laku di desa, beda selera. Ada tukang nasi yang lebih suka keliling pake gerobak sambil ketokin kualinya, tapi ada juga yang sukanya buka restoran walaupun kecil tapi ada tempat orang bisa duduk dan bisa ngobrol fellowship satu dengan lainnya. Banyak tukang nasi yang hanya bisa masak nasi, tapi juga ada beberapa yang selain masak nasi goreng juga bisa mi goreng, capcay, kwetiaw goreng atau bahkan fuyung hai. At the end of the day, kalo kamu cocok sama nasi goreng yang itu, yah udah jangan jelek2in nasi goreng yang lain, karena bisa jadi yang kamu jelek2in itu dibilang enak sama orang lain. Kalo kamu sudah cocok sama nasi goreng yang itu, mbok yah kalo tukang nasinya kasih kamu nasehat, teguran atau arahan didengerin karena blom tentu tukang nasi laen nasehatnya, tegurannya atau arahannya cocok buat kamu. Last thing nih, ga baik makan nasi goreng banyak2, dari berbagai tempat yah ada baiknya kamu rooted di tukang nasi goreng satu ajah biar dia bisa tahu perkembangan kamu dalam hidup kamu. Hidup tukang nasi goreng! Semoga pikiran beberapa tukang nasi goreng terbuka dan berubah, Amin.


About Me

Firstborn of the clan Kusika, husband to a beautiful Rika and Father to a gorgeous Aimee. We are initially from Bandung and served at the homiest place called The House, IFGF BANDUNG. Today, we are pastoring the most fun people on the entire island of Singapore, IFGF SINGAPORE and the most fun people on the entire island of Bali, IFGF KUTA BALI.

Follow Me On