Nasi goreng itu salah satu makanan yang sangat digemari oleh banyak orang baik di Indonesia maupun di seluruh Asia. Nasi goreng bahkan sampe membekas dan dilagukan dgn judul Geef Mij Maar Nasi Goreng oleh Wieteke van Dort alias Tante Lien, orang Belanda yang kangen dengan makanan satu ini. Intinya adalah nasi goreng tidak bisa dijauhkan dari kehidupan orang. Ada pewahyuan lucu yang saya dapatkan sehubungan nasi goreng dan gereja. ada pepatah yang berkata, “everything rises and fall on leadership”, dalam hal nasi goreng mungkin bisa diterjemahkan bebas menjadi “enak tidak enak tergantung yang masak”, dan dalam dunia persilatan gereja bisa diterjemahkan bebas menjadi “maju tidak maju tergantung gembalanya”. Yah sama dengan nasi goreng, yang merupakan produk yang lahir dari tangan dan pemikiran yang masak, gereja sebagai sebuah organisasi (diakui atau tidak) juga merupakan produk dari tangan dan pemikiran yang menggembalakan. Gembalanya suka lagu rock, maka pilihan lagu boleh bernuansa rock. Gembalanya tidak suka keconcong, maka tidak boleh nyanyi lagu irama keroncong. Gembalanya suka belajar, maka pengajaran akan sangat kritis dan dalam, Gembalanya suka nyanyi, maka pelayanan panggung akan sangat berperan penting. tidak ada yang salah dan semua benar. tulisan ini hanya menantang pola pikir yang membaca untuk melihat betapa fragile nya kepemimpinan dan organisasi dalam kaitan pertumbuhan dan perkembangan usaha nasi goreng eh gereja. Usahakan untuk membaca sampai selesai sebelum membuat sebuah kesimpulan apalagi asumsi.

Nasi goreng ada yang harganya murah dan jualan di gerobak jelek, kotor, lokasinya dekat kuburan, dekat tempat pembuangan sampah tapi yang datang makan adalah mereka yang datang dengan mobil-mobil besar keluaran terbaru. Aneh yah, kalo enak, bentuknya bagaimanapun akan dikejar dan rela antri-antri bahkan rela makan di lokasi panas-panasan. Diujung satunya ada tempat yag nyaman, sejuk, wangi dan nyaman untuk makan tapi rasanya biasa dan harganya seringkali sudah sangat mahal dan yang beli tidak banyak. Lebih aneh lagi adalah karena yang jualannya sepi ditempat yang baik ini justru jebolan sekolah masak yang bonafide, sementara yang jualan dipojokan kuburan itu justru ga pernah makan bangku sekolahan sama sekali tapi rasa ga pernah bohong. Saya tidak sedang memojokkan institusi pendidikan ataupun membela mereka yang tidak bersekolah formal, ini bukan tentang itu, ini tentang seorang tukang masak nasi goreng yang MAMPU meramu bumbu dan memberikan NILAI TAMBAH baik dari cita rasa ataupun bahan yang kemudian sanggup memenuhi kebutuhan dan menjawab masalah lapar dari banyak orang. Terlepas dari tukang nasi goreng itu lulusan mana. Dalam dunia korporasi, tukang masak yang baik bisa dikategorikan sebagai the right man in the right place with the right knowledge adding values to the corporation.
Nah barusan masih intro, saya menemukan beberapa masalah dari tukang nasi goreng. Pertama, masalah star-syndrome, tukang nasi goreng yang dalam waktu singkat terkenal dan mulai belagu, mulai menikmati semua benefit dari keterkenalan dia dan mulai jarang masak. Jenis ini akan buka cabang dimana-mana, membagikan resepnya kemana-mana, bikin seminar cara masak nasi goreng, bikin buku resep dan mungkin punya acara tv segala dan pada akhirnya mulai tidak hands-on dengan bisnis nya dan membiarkan para tukang masaknya melakukan apa yang mereka rasa baik. Biasanya tukang nasi goreng tipe begini akan sangat cepat naik ke atas tapi sangat cepat juga jatuh ke bawah dan susah bangkit lagi karena karismanya besar tapi karakternya tak menunjang. Tukang ini kurang menyadari bahwa menjadi tukang yang terkenal membutuhkan continues improvement.
Masalah kedua, regenerasi, tukang nasi goreng jenis ini biasanya kurang bisa melihat masa depan dan melakukan planning dengan baik. Mereka-mereka ini gagal mendidik atau terlalu pelit membagi ilmu untuk para penerus tukang nasi goreng yang mumpuni sehingga bisnis nasi goreng mereka tidak berkelanjutan. Jenis ini mungkin akan sangat sukses, kaya raya, tapi semua itu akan berhenti ketika sang tukang sudah tak sanggup lagi mengangkat kuali. Banyak sekali jenis ini dimana-mana, kalo diajak bicara alesannya beragam: takut dikhianati, takut nanti setelah diajari malah jadi saingan, takut setelah diajari malah merebut pelangan atau buka di seberang jalan. Pada intinya jenis ini adalah tukang nasi yang penakut.
Masalah ketiga, cepat puas, ini jenis paling banyak sepertinya. Saya sering ketemu tukang nasi goreng yang sebulan jualan lalu libur sebulan karena pulang kampung dan berfoya-foya atau mungkin juga kawin lagi. Jenis ini adalah tukang nasi goreng yang merasa bahwa apa yang terjadi sekarang sudah baik dan tidak perlu dikembangkan lagi. ini semua sudah cukup. Jenis ini masuk ke jenis manusia malas, cepat berpuas diri dan tidak suka keluar dari zona nyaman, padahal Tuhan memanggil kita semua keluar dari zona nyaman. Eh balik ke nasi goreng, bukan lagi ngomongin pemimpin malas. Mungkin bukan malas saja tapi juga sombong, merasa sudah tahu semua dan menolak untuk belajar dan tahu lebih. Tukang jenis ini kalo ketemu tukang nasi goreng lain tidak akan pernah mencoba nasi goreng bikinan orang lain atau benchmarking, enggan memperkaya ilmu dengan datang ke konferensi nasi goreng dunia, enggan membaca buku resep, apalagi biografi tukang nasi goreng yang sudah sukses mendunia. Jenis ini adalah tukang yang sangat puas dapat pendapatan kecil yang penting bersyukur.
Masalah keempat, kurang kreatif, tukang nasi goreng jenis ini biasanya bagian dari sebuah franchise nasi goreng terkenal, membawa brand besar sehingga semua bumbu dan bahan dan mutu “diatur” oleh brand itu dan digodok di central kitchen. tukang nasi goreng tipe begini jarang yang punya skill memasak melebihi tukang masak pendirinya (brand-nya). karena berkewajiban untuk hanya “memanaskan” nasi goreng dan tidak pernah berlatih untuk memasak dengan kemampuannya sendiri maka seberapa tahun pun dia menjadi tukang nasi goreng, dia hanya akan menjadi tukang nasi groreng yang biasa-biasa saja dan tidak kreatif. Menjadi bagian franchise bernama besar tentunya bukan hal buruk kan, tapi kalo dilakukan tanpa menambahkan nilai apapun dalam pelaksanaannya maka rasa nasi goreng hanya akan menjadi biasa-biasa saja dan jarang yang kemudian menjadi tukang nasi goreng sukses dan berhasil.
Masalah kelima, takut perubahan, jenis tukang ini adalah tukang nasi goreng yang takut ganti suplier telor karena takut ada perubahan rasa, takur ganti suplier bawang karena takut rasa berubah, takut ganti merk beras karena nanti nasinya berbeda. Saking takutnya berubah lama-lama jadi takut pindah lokasi padahal lokasi lama udah ga muat nampung langganan, takut rekrut tukang potong nanti bisa curi ilmu, takut segala macem sampe akhirnya ditinggalin langganan karena tidak ngikutin jaman. Ga mau pake aplikasi online, ga mau cape-cape urus pembayaran online, cuma mau terima uang tunai dan masih harus lari2 cari kembalian kalo yang bayar duitnya kegedean. Jenis ini cocoknya dimuseumkan, karena bahkan tukang nasi goreng harus up to date, karena mungkin ajah sekarang nasi goreng udah ada rasa keju, rasa strawberry, atau pisang coklat. yah who knows… selera orang kan suka aneh.
Masalah keenam, bantet, jenis ini sudah berusaha bikin nasi goreng yang enak dan disukai tapi tetap hasilnya biasa-biasa saja. mungkin saja emang ga bakat jadi tukang nasi goreng, mungkin harus coba jadi pengusaha atau mulai start-up atau mungkin bahkan banting setir jadi tukang kueh. Ga semua orang harus jadi tukang nasi goreng kan ? jadi kalo ternyata panggilannya bukan tukang nasi goreng yah jangan maksa. Mungkin ajah cocoknya jadi apoteker, tukang gali minyak, atau direktur bank.
Masalah yang lain masih banyak, nanti saya tambahin kalo kepikir lagi. Intinya adalah masalahnya banyak dan tidak sesimpel itu jadi tukang nasi goreng. Tiap tukang akan punya caranya sendiri-sendiri, ada yang masak bawang duluan, ada yang telor duluan, biasanya sih ga ada yang nasi duluan. Tapi kalaupun ada yang nasi duluan yah itu gayanya dia dan mungkin aja ternyata hasil akhirnya enak dan laku yah bukan bearti semua harus ikutin karena semua orang akan punya caranya sendiri2 dan warna sendiri2. At the end of the day, tree will be judge by their fruits. Dalam dunia pernasigorengan tidak ada one size fits all, tiap tukang ada kebisaannya masing-masing, tiap tukang ada genre nya msing-masing, tiap tukang ga bisa dicetak pake cetakan yang sama. Ada tukang nasi goreng yang lebih laku di desa, ada yang lebih laku di kota besar, yang di desa ga bisa ke kota, yang di kota juga pasti ga laku di desa, beda selera. Ada tukang nasi yang lebih suka keliling pake gerobak sambil ketokin kualinya, tapi ada juga yang sukanya buka restoran walaupun kecil tapi ada tempat orang bisa duduk dan bisa ngobrol fellowship satu dengan lainnya. Banyak tukang nasi yang hanya bisa masak nasi, tapi juga ada beberapa yang selain masak nasi goreng juga bisa mi goreng, capcay, kwetiaw goreng atau bahkan fuyung hai. At the end of the day, kalo kamu cocok sama nasi goreng yang itu, yah udah jangan jelek2in nasi goreng yang lain, karena bisa jadi yang kamu jelek2in itu dibilang enak sama orang lain. Kalo kamu sudah cocok sama nasi goreng yang itu, mbok yah kalo tukang nasinya kasih kamu nasehat, teguran atau arahan didengerin karena blom tentu tukang nasi laen nasehatnya, tegurannya atau arahannya cocok buat kamu. Last thing nih, ga baik makan nasi goreng banyak2, dari berbagai tempat yah ada baiknya kamu rooted di tukang nasi goreng satu ajah biar dia bisa tahu perkembangan kamu dalam hidup kamu. Hidup tukang nasi goreng! Semoga pikiran beberapa tukang nasi goreng terbuka dan berubah, Amin.
Leave a reply to Cerita Tukang Nasi Goreng part 2 – Carpe Diem Cancel reply